Kaki Seribu
Oleh
: Nur Aini Fadilla
Tok...tok..tok...
“Assalamualaikum... Shila!”
“Hey, mari masuk!”
“Shila, kita jadi ke gunung loh. Rencananya hari
minggu nanti. Jangan lupa bawa baju ganti karena kita juga mau mandi loh.”
“Mandi?”
“Iya, mandi. Disana ada air yang mengalir jernih.
Dan tempatnya juga cukup luas.”
“Hmm... iya deh aku akan siapin semuanya.”
Hari minggu pun tiba,
aku dan Mita kini telah bersiap-siap untuk berangkat ke rumah Lilis.
“Semuanya sudah siap mba bro! Bagaimana dengan
kamu?” ucap sahabatku Mita.
“Sudah donk.
Aku penasaran nih gimana yah rasanya mendaki gunung?” tanyaku.
“Hmm, rasa melon mungkin. Heheheh...”
“Idih, emangnya gunung tuh dimakan yah!”
“Hehehe... bisa jadi! Ayo kita berangkat!”
“Yuk!”
***
Saatnya mendaki
gunung. Semua keluarga Lilis juga sudah
siap untuk berangkat. Kami mengendarai
sebuah motor beat biru, yaa itu mtor kesayangan sahabaku Mita. Sesampainya di
rumah lilis, kami ngobrol-ngobrol membicarakan kegiatan apa saja yag kn kita
lakukan di gunung nanti.
“Celana pendek kamu
yang warna merah itu masih ada sama aku, tapi boleh kan aku meminjamnya sekali
lagi. Hmm, untuk aku pakai mandi jika kita sudah tiba di gunung nanti. Ngga
papa, kan!” ujar Mita kepada Lilis.
“Wah, Iya. Pakai aja.
Ngga papa kok!” kata Lilis.
“Waduh, aku lupa bawa
celana pendek kayak gitu. Gimana nih? Hmm... Tapi, di lihat nanti aja deh aku
ikutan mandi atau tidak. Karena masalahnya aku ngga bawa.”
“Aku punya celana
pendek, tapi di atas lutut. Gimana? Kamu mau?” ucap Lilis.
“Hmm.. Terima Kasih.
Tapi, Ngga usah yah. Karena aku ngga suka kalau celana pendek kayak gitu. Dan
Ngerepotin kamu juga atuh!”
“Hmm.. Ya udah deh!”
Tepat pukul 09.45, kami
pun berangkat untuk mendaki gunung.
“Yeeyee, mendaki gunung.” ucapku dengan penuh dengan
kesenangan.
“Hmm.. Shila..Shilaa.” ucap Mita.
“Mita, tuh lihat warna hitam yang melilngkar itu! Kacumbari! Cepetan kamu jalannya, aku
takut.”
“Aduh, Shila masa ulat kaki seribu ajakamu takut
sih.”
“Idih, aku geli tau :p”
“Tuh lihat ada jambu. Buahnya juga banyak! Yuk kita
ambil, sambil makan di perjalanan lah!”
“Iyah, biar aku yang manjat.” ucap seorang cowok,
yaa itu sepupunya Lilis.
“Oke.”
Setelah
mengumpulkan jambu tersebut, kami melanjutkan perjalanan. Terdapat dua jalur
untuk mencapai puncak gunung tersebut. Mama dan Tante Lilis melalui jalur kiri
dan aku, lilis, mita, dua cowok dan satu cewek sepupunya Lilis melewati jalur
kanan. Kami bercerita-cerita di sepanjang perjalanan. Melewati aliran sungai,
pepohonan yang lebat , jalanan yang sempit, semak-semak dan tiba-tiba...
“Aaaaa, kacumbari.
Mita, lihat tuh ada kacumbari. Ihh,
singkirkan itu Mita. Aku geli.”
“Idih, Shila. Hehehee.. Ngga papa kok. Jangan
histeris kayak gitu. Kacumbari itu ngga akan gigit kamu kok kalau kamu
ngga mengganggunya.”
“Tuh, sudah hilang kacumbarinya. Sudah..sudah!” ucap seorang lelaki menyerupai seperti
orang arab dan hidungnya mancung.
“Hehehe, iyah. Terima Kasih!” ucapku cengir dengan
wajah memerah karena malu.
Lelaki
itu ternyata sedari tadi memperhatikanku, apalagi ketika aku ketakutan melihat Kacumbari. Lelaki itu bernama Irwansyah.
Aku memanggilnya Kak Irwan. Dengan waktu setengah jam perjalanan, kami pun tiba
di tempat tujuan, Yaitu di puncak gunung. Di pepohonan, kami berisirahat
sejenak. Sedangkan keluarga Lilis pun mempersiapkan alat dan bahan untuk
bakar-bakar ayam dan Ikan.
“Aduh, jadi begini yah rasanya naik gunung. Hmm..
capek banget. Kaki aku gemeteran nih!” ucapku dengan nada suara yang lelah.
“Iya, beginilah kalau kita naik gunung. Yuk kita makan
jambu ini.” ucap Lilis sembari menawarkan jambu yang sudah kita petik di awal
tengah perjalanan tadi.
“Hmm, kita Foto-foto dulu yuk! Siap disitu.” kata
seorang cowok sepupunya Lilis.
“Iyah, nih kita Foto dulu. Shila, mari kita
gifo-gifo.an dulu.”
“Ayo, kita di atas sana aja. Kan pemandangannya indah
tuh!”
“Hmm, nih telepon dari siapa yah?” gumamku dalam
hati.
Panggilan dari Amrhy J.
Begitulah tulisan yang tertera di layar handphoneku. Amri adalah teman SMPku.
“Tunggu dulu yah foto-fotonya, karena ada yang nelpon nih.”
“Hmm.. iya, iya..” kata Mita yang lagi asyik foto
dengan Lilis.
“Halo...”
“Halo, assalamualaikum.” ucap Amri.
“Waalaikum salam.. ada apa amri?”
“Ngga papa. Aku lihat kamu tadi naik motor dengan
Mita dan Lilis. Emangnya kamu mau kemana?”
“Oh, iya. Aku tadi juga lihat kamu. Aku lagi di
puncak gunung. Kamu kesini gih, kita seru-seruan disini.”
“Hmm.. Iya. Tapi aku ngga ada yang nemenin.”
“Samaki’ angga kesini. Seru loh, udara disini sejuk! Kami juga
bakar-bakar ayam disini.”
“Iya, tapi kelihatannya mau hujan nih. Kamu
hati-hati disana yah Shila!”
“Iya nih, mau hujan kayaknya.”
“Lilis, Foto aku dengan Shila disini.”
“Oke, siap disitu. 1..2..3..”
“Shila, lagi teleponan dengan siapa?” tanya Mita.
“Dengan Amri.”
“Ehm... cie..cie”
“Idiih, apaan sih kamu?”
“Oh, iya. Sorry yah amri, aku ngobrol dengan Mita tadi.”
“Iya. Ngga papa. Udah dulu yah! Kamu hati-hati disana. Assalamualaikum..”
“Waalaikum salam..”
Setelah
selesai foto-foto, kami dipanggil oleh Mamanya Lilis untuk makan.
“Lilis, Mita, Shila mari makan.”
“Iya, ma. Tunggu yah Ma.”
“Mari makan, kalian disini saja dengan aku.” kata
Kak Irwan.
“Iya, dibagi tiga kelompok aja. Ehm.. alena
mi orowane la iwan kurodo. Dikelilingi
oleh gadis-gadis. Macai ammai bene nu
iwan.” kata Omnya Lilis.
“hahaha, de’ma
tuh!”
“Hmm.. enak yah ayam bakarnya! Yummy..” ucap Mita
yang saat itu terlihat salah tingkah.
Saat
itu, aku duduk berdekatan dengan Kak Irwan. Mita masih terlihat salah tingkah
mencicipi makanannya. Sedangkan aku biasa-biasa saja. Padahal kan biasanya,
kalau aku dekat dengan seorang lelaki pasti aku juga ikut salah tingkah. Tapi
beda dengan kali ini.
Ayam bakarnya, kami makan sepiring bertiga,
yakni aku, lilis, dan Mita. Padahal ada ayam bakar sepiring lagi tepat berada
di depan kak Irwan.
“Dek, engkampa
manuk tunu e, aja’ na ta tellu i ku tudu.” ucap kak Irwan.
“Hehehe.. Iya kak.” ucap Mita cengar cengir.
“Hmm, iya Mita. Nih juga enak loh.” kataku sambil
mencicipi ayam bakar yang ditawarkan tadi oleh kak Irwan.
“Iya. J” ucap Kak
dengan senyuman manis kepadaku.
Selesai
makan, kami pun melanjutkannya dengan Mandi di aliran sungai yang begitu
jernih.
“Shila, ayo kita mandi di bawah sana tuh.” ucap
Lilis menunjuk aliran sungainya.
“Tapi, aku ngga bawa celana ganti. Gimana nih?”
“Alla Shila, celana itu aja yang kamu gunakan. Aku
juga celana ini aja yang aku pakai. Kan mau hujan juga nih. Percuma kan kalau
kita ganti baju lagi.”
“Ya udah deh.”
Kak
Irwan mengikuti kemana pun kami pergi. Dan kami melanjukan untuk foto-foto di
aliran sungai itu. Namun ketika giliran aku untuk mandi...
“Kacumbari..” kata
Kak irwan yang menakut-nakutiku dengan sebuah batang kayu kecil.
“Aaaa,
mana-mana?” ucapku histeris
ketakutan.
“Aduh, awas Shila. Ada Lilis tuh.” teriak Mita.
Lilis
terjatuh di sebuah batu besar karena ulah dari ketakutanku sendiri. Aku menutup
mataku tak ingin melihat kacumbari
itu yang tak lain hanyalah sebuah ranting
kayu kecil. Semua orang yang berada disekitarku tertawa karena melihat
betapa takutnya aku dengan ular kecil berkaki seribu tersebut.
“Shila, kamu lucu banget sih?”
“Ahh, ngga lucu tau. Aku memang takut dengan kacumbari.
Ishh...”
“Udah, udah jangan manyun gitu. Kita ini cuma
bercanda. Maaf yah!”
Tepat
pukul 12.02, kami pun bergegas untuk pulang. Cuacanya panas namun rerumputan
masih basah karena hujan tadi.
“Dek, ini jaket buat kamu supaya tidak panas.” kata
Kak Irwan.
“Hmm,, Iya. Makasih kak!” ucapku dengan nada suara
kecil sambil tersenyum.
Di
tengah perjalanan...
“Itu...Itu... warna hitam melingkar. Aaaaaa... kacumbari.” teriakku menunduk dan
menunjuk kacumbari tersebut. Kemudian lari.
“Hmm, kacumbar
i lagi. Ini nih...” ucap anak kecil
yang ingin melemparkan kacumbari tersebut
kepadaku.
“Aaaaa... tidak. Jangan.. Jangannn..”
“Sudah.. sudah. Aja’
mupakkuro i anak na tauwe, malasa ammai oo. Tidak ada mi, dek! Jangan maki’
takut.” ujar Kak Irwan menenangkan ku.
“Addah, takut ki itu kak. Takut sekali ka sama itu kacumbari.”
“Iya,
dek! Tidak ada mi. Sudah saya singkirkan.”
“Hehehehe.. Shila.. shila..”
Kurang
lebih setengah jam perjalanan. Fajar mulai menghampiri petang, kami pun keluar
dari hutan mengerikan penuh dengan kacumbari.
Pengalaman yang menyenangkan. Benar-benar luar biasa perjalanannya. Penuh
tantangan dan suaraku serak karena tadi teriak-teriak ketakutan setiap melihat kacumbari atau si
kaki seribu di tengah hutan tersebut. Kaki ku juga pegal-pegal naik turun
gunung tersebut. Tak ada oleh-oleh yang ku bawa pulang, hanya sebingkis lelah
penuh tawa kebahagiaan. ( Wait for
the rest of the story ! )
Tidak ada komentar:
Posting Komentar