Rabu, 12 Februari 2014

Kisah Cinta Shila Part 9



Kaki Seribu
Oleh : Nur Aini Fadilla

Tok...tok..tok...
 “Assalamualaikum... Shila!”
“Hey, mari masuk!”
“Shila, kita jadi ke gunung loh. Rencananya hari minggu nanti. Jangan lupa bawa baju ganti karena kita juga mau mandi loh.”
“Mandi?”
“Iya, mandi. Disana ada air yang mengalir jernih. Dan tempatnya juga cukup luas.”
“Hmm... iya deh aku akan siapin semuanya.”
Hari minggu pun tiba, aku dan Mita kini telah bersiap-siap untuk berangkat ke rumah Lilis.
“Semuanya sudah siap mba bro! Bagaimana dengan kamu?” ucap sahabatku Mita.
“Sudah donk.  Aku penasaran nih gimana yah rasanya mendaki gunung?” tanyaku.
“Hmm, rasa melon mungkin. Heheheh...”
“Idih, emangnya gunung tuh dimakan yah!”
“Hehehe... bisa jadi! Ayo kita berangkat!”
“Yuk!”
***
Saatnya mendaki gunung.  Semua keluarga Lilis juga sudah siap untuk berangkat.  Kami mengendarai sebuah motor beat biru, yaa itu mtor kesayangan sahabaku Mita. Sesampainya di rumah lilis, kami ngobrol-ngobrol membicarakan kegiatan apa saja yag kn kita lakukan di gunung nanti.
“Celana pendek kamu yang warna merah itu masih ada sama aku, tapi boleh kan aku meminjamnya sekali lagi. Hmm, untuk aku pakai mandi jika kita sudah tiba di gunung nanti. Ngga papa, kan!” ujar Mita kepada Lilis.
“Wah, Iya. Pakai aja. Ngga papa kok!” kata Lilis.
“Waduh, aku lupa bawa celana pendek kayak gitu. Gimana nih? Hmm... Tapi, di lihat nanti aja deh aku ikutan mandi atau tidak. Karena masalahnya aku ngga bawa.”
“Aku punya celana pendek, tapi di atas lutut. Gimana? Kamu mau?” ucap Lilis.
“Hmm.. Terima Kasih. Tapi, Ngga usah yah. Karena aku ngga suka kalau celana pendek kayak gitu. Dan Ngerepotin kamu juga atuh!”
“Hmm.. Ya udah deh!”
Tepat pukul 09.45, kami pun berangkat untuk mendaki gunung.
“Yeeyee, mendaki gunung.” ucapku dengan penuh dengan kesenangan.
“Hmm.. Shila..Shilaa.” ucap Mita.
“Mita, tuh lihat warna hitam yang melilngkar itu! Kacumbari! Cepetan kamu jalannya, aku takut.”
“Aduh, Shila masa ulat kaki seribu ajakamu takut sih.”
“Idih, aku geli tau :p”
“Tuh lihat ada jambu. Buahnya juga banyak! Yuk kita ambil, sambil makan di perjalanan lah!”
“Iyah, biar aku yang manjat.” ucap seorang cowok, yaa itu sepupunya Lilis.
“Oke.”
            Setelah mengumpulkan jambu tersebut, kami melanjutkan perjalanan. Terdapat dua jalur untuk mencapai puncak gunung tersebut. Mama dan Tante Lilis melalui jalur kiri dan aku, lilis, mita, dua cowok dan satu cewek sepupunya Lilis melewati jalur kanan. Kami bercerita-cerita di sepanjang perjalanan. Melewati aliran sungai, pepohonan yang lebat , jalanan yang sempit, semak-semak dan tiba-tiba...
“Aaaaa, kacumbari. Mita, lihat tuh ada kacumbari. Ihh, singkirkan itu Mita. Aku geli.”
“Idih, Shila. Hehehee.. Ngga papa kok. Jangan histeris kayak gitu. Kacumbari  itu ngga akan gigit kamu kok kalau kamu ngga mengganggunya.”
“Tuh, sudah hilang kacumbarinya. Sudah..sudah!” ucap seorang lelaki menyerupai seperti orang arab dan hidungnya mancung.
“Hehehe, iyah. Terima Kasih!” ucapku cengir dengan wajah memerah karena malu.
            Lelaki itu ternyata sedari tadi memperhatikanku, apalagi ketika aku ketakutan melihat Kacumbari. Lelaki itu bernama Irwansyah. Aku memanggilnya Kak Irwan. Dengan waktu setengah jam perjalanan, kami pun tiba di tempat tujuan, Yaitu di puncak gunung. Di pepohonan, kami berisirahat sejenak. Sedangkan keluarga Lilis pun mempersiapkan alat dan bahan untuk bakar-bakar ayam dan Ikan.
“Aduh, jadi begini yah rasanya naik gunung. Hmm.. capek banget. Kaki aku gemeteran nih!” ucapku dengan nada suara yang lelah.
“Iya, beginilah kalau kita naik gunung. Yuk kita makan jambu ini.” ucap Lilis sembari menawarkan jambu yang sudah kita petik di awal tengah perjalanan tadi.
“Hmm, kita Foto-foto dulu yuk! Siap disitu.” kata seorang cowok sepupunya Lilis.
“Iyah, nih kita Foto dulu. Shila, mari kita gifo-gifo.an dulu.”
“Ayo, kita di atas sana aja. Kan pemandangannya indah tuh!”

“Hmm, nih telepon dari siapa yah?” gumamku dalam hati.
Panggilan dari Amrhy J. Begitulah tulisan yang tertera di layar handphoneku. Amri adalah teman SMPku.
“Tunggu dulu yah foto-fotonya, karena  ada yang nelpon nih.”
“Hmm.. iya, iya..” kata Mita yang lagi asyik foto dengan Lilis.
“Halo...”
“Halo, assalamualaikum.” ucap Amri.
“Waalaikum salam.. ada apa amri?”
“Ngga papa. Aku lihat kamu tadi naik motor dengan Mita dan Lilis. Emangnya kamu mau kemana?”
“Oh, iya. Aku tadi juga lihat kamu. Aku lagi di puncak gunung. Kamu kesini gih, kita seru-seruan disini.”
“Hmm.. Iya. Tapi aku ngga ada yang nemenin.”
“Samaki’ angga kesini.  Seru loh, udara disini sejuk! Kami juga bakar-bakar ayam disini.”
“Iya, tapi kelihatannya mau hujan nih. Kamu hati-hati disana yah Shila!”
“Iya nih, mau hujan kayaknya.”
“Lilis, Foto aku dengan Shila disini.”
“Oke, siap disitu. 1..2..3..”
“Shila, lagi teleponan dengan siapa?” tanya Mita.
“Dengan Amri.”
“Ehm... cie..cie”
“Idiih, apaan sih kamu?”
“Oh, iya. Sorry yah amri, aku  ngobrol dengan Mita tadi.”
“Iya. Ngga papa. Udah dulu yah! Kamu  hati-hati disana. Assalamualaikum..”
“Waalaikum salam..”
            Setelah selesai foto-foto, kami dipanggil oleh Mamanya Lilis untuk makan.
“Lilis, Mita, Shila mari makan.”
“Iya, ma. Tunggu yah Ma.”
“Mari makan, kalian disini saja dengan aku.” kata Kak Irwan.
“Iya, dibagi tiga kelompok aja.  Ehm.. alena mi orowane la iwan kurodo. Dikelilingi oleh gadis-gadis. Macai ammai bene nu iwan.” kata Omnya Lilis.
“hahaha, de’ma tuh!”
“Hmm.. enak yah ayam bakarnya! Yummy..” ucap Mita yang saat itu terlihat salah tingkah.
            Saat itu, aku duduk berdekatan dengan Kak Irwan. Mita masih terlihat salah tingkah mencicipi makanannya. Sedangkan aku biasa-biasa saja. Padahal kan biasanya, kalau aku dekat dengan seorang lelaki pasti aku juga ikut salah tingkah. Tapi beda dengan kali ini.
 Ayam bakarnya, kami makan sepiring bertiga, yakni aku, lilis, dan Mita. Padahal ada ayam bakar sepiring lagi tepat berada di depan kak Irwan.
“Dek, engkampa manuk tunu e, aja’ na ta tellu i ku tudu.” ucap kak Irwan.
“Hehehe.. Iya kak.” ucap Mita cengar cengir.
“Hmm, iya Mita. Nih juga enak loh.” kataku sambil mencicipi ayam bakar yang ditawarkan tadi oleh kak Irwan.
“Iya. J” ucap Kak dengan senyuman manis kepadaku.
            Selesai makan, kami pun melanjutkannya dengan Mandi di aliran sungai yang begitu jernih.
“Shila, ayo kita mandi di bawah sana tuh.” ucap Lilis menunjuk aliran sungainya.
“Tapi, aku ngga bawa celana ganti. Gimana nih?”
“Alla Shila, celana itu aja yang kamu gunakan. Aku juga celana ini aja yang aku pakai. Kan mau hujan juga nih. Percuma kan kalau kita ganti baju lagi.”
“Ya udah deh.”
            Kak Irwan mengikuti kemana pun kami pergi. Dan kami melanjukan untuk foto-foto di aliran sungai itu. Namun ketika giliran aku untuk mandi...
Kacumbari..” kata Kak irwan yang menakut-nakutiku dengan sebuah batang kayu kecil.
Aaaa, mana-mana?” ucapku histeris ketakutan.
“Aduh, awas Shila. Ada  Lilis tuh.” teriak Mita.
            Lilis terjatuh di sebuah batu besar karena ulah dari ketakutanku sendiri. Aku menutup mataku tak ingin melihat kacumbari itu yang tak lain hanyalah sebuah ranting  kayu kecil. Semua orang yang berada disekitarku tertawa karena melihat betapa takutnya aku dengan ular kecil berkaki seribu tersebut.
“Shila, kamu lucu banget sih?”
“Ahh, ngga lucu tau. Aku memang takut dengan  kacumbari. Ishh...”
“Udah, udah jangan manyun gitu. Kita ini cuma bercanda. Maaf yah!”
            Tepat pukul 12.02, kami pun bergegas untuk pulang. Cuacanya panas namun rerumputan masih basah karena hujan tadi.
“Dek, ini jaket buat kamu supaya tidak panas.” kata Kak Irwan.
“Hmm,, Iya. Makasih kak!” ucapku dengan nada suara kecil sambil tersenyum.
            Di tengah perjalanan...
“Itu...Itu... warna hitam melingkar. Aaaaaa... kacumbari.” teriakku menunduk dan menunjuk kacumbari  tersebut. Kemudian lari.
“Hmm, kacumbar i  lagi. Ini nih...” ucap anak kecil yang ingin melemparkan kacumbari tersebut kepadaku.
“Aaaaa... tidak. Jangan.. Jangannn..”
“Sudah.. sudah. Aja’ mupakkuro i anak na tauwe, malasa ammai oo. Tidak ada mi, dek! Jangan maki’ takut.” ujar Kak Irwan menenangkan ku.
“Addah, takut ki itu kak. Takut sekali ka sama itu kacumbari.”
Iya, dek! Tidak ada mi. Sudah saya singkirkan.”
“Hehehehe.. Shila.. shila..”
            Kurang lebih setengah jam perjalanan. Fajar mulai menghampiri petang, kami pun keluar dari hutan mengerikan penuh dengan kacumbari. Pengalaman yang menyenangkan. Benar-benar luar biasa perjalanannya. Penuh tantangan dan suaraku serak karena tadi teriak-teriak ketakutan setiap melihat kacumbari  atau si kaki seribu di tengah hutan tersebut. Kaki ku juga pegal-pegal naik turun gunung tersebut. Tak ada oleh-oleh yang ku bawa pulang, hanya sebingkis lelah penuh tawa kebahagiaan.  ( Wait for the rest of the story ! )

Tidak ada komentar:

Posting Komentar