SEMPAT MEMILIKIMU
Oleh
: Nur Aini Fadilla
Suatu hari kala raja
siang menguasai bumi, cucuran keringat membasahi dahi tiba-tiba handphoneku
berdering menandakan ada pesan masuk. Aku yang sedang asyik bercanda dengan
kedua adikku, dengan sigapnya ku raih handphone yang sedari tadi ku cas.
“Ternyata nomor baru!”
gumamku dalam hati.
“Hai, selamat siang!”
isi pesan tersebut.
“Maaf, ini dengan
siapa?”
“Iwan, ini dengan Shila
yah?”
“Iya, betul. Maaf, Iwan
tinggal dimana yah?”
“Nih Iwan sepupunya
Lilis. Yang waktu itu kita naik gunung.”
“Oh, iyya. Ada apa
kak?”
“Tidak ada apa-apa.
Salam kenal yah!”
“Iya, kak!”
“Lagi ngapain, dek?”
“Lagi duduk-duduk.
Kalau kakak?”
“Sama, Lagi duduk juga
ini, dek! Adik sudah makan?”
“Alhamdulillah, sudah
kak.”
Tak terasa waktu menunjukkan pukul. 16.00
wita. Kuakhiri short message dengan Kak Iwan. Setelah shalat ashar, aku pun
segera mandi dan melanjutkan tugas sekolahku yang sedari tadi menungguku untuk
segera aku kerjakan.
“Ehem... kelihatannya
ada yang lagi bahagia nih!” kata adikku Risya.
“Apaan sih? Kan, bagus
kalau kita kelihatan bahagia. Daripada murung.”
“Idih, ada suara tapi
tidak nampak orangnya.”
“Ish, emangnya aku
hantu apa?”
“Emangnya ada apa sih kakak
aku yang manis?”
“Hahaha.. Tidak usah
kamu tahu. Rahasia. Sana kamu? Huss...huss...”
“Ihh kakak, emangnya
aku ayam yang diusir kayak gitu.”
“ Hmm... bukan. Kamu
masih adik aku yang paling tersayang.”
“Mulai lagi rayuannya?”
***
Langit mulai gelap. Aku
mulai merebahkan tubuhku di atas ranjangku, terdengar suara getar dari handphonepku
menandakan ada pesan masuk. Kulihat pesan itu dari Kak Iwan. Pesan yang sama seperti tadi yang hanya
menyapa dan menayakan kegiatan apa yang aku lakukan saat itu. Aku pun membalasnya
dengan jawaban singkat. Aku ingin kembali pada ketenangan. Kutarik bantal tidur
dan memeluk boneka Shaun The Sheep kesayanganku, ternyata ada sebuah benda yang ikut terjatuh
bersamanya. Kuambil dan kulihat. Ternyata, itu adalah foto Farhan bersamaku di
masa kecil dulu.
Hubungan kami pun sudah
berjalan satu tahun. Kupandangi sejenak foto itu. Tak terasa, air mataku sudah
menumpuk dipelupuk mata dan telah membuncah keluar. Kenangan itu pun kembali.
Kenangan pada saat pesta perayaan ulang tahunku yang ke-9. Namun tangisanku
kali ini karena sudah seminggu dia tak memberiku kabar lagi. “Ada apa
dengannya?”
Terdengar ketukan pintu
kamarku yang memecah lamunan dan tangisanku. Segera kuhapus air mataku dan
mencoba memperbaiki keadaan seolah tak terjadi apa-apa.
“Ada sms tuh? Kenapa
kakak tidak memperdulikannya?” kata adikku Risya yang heran melihatku.
“Hmm...O...oo... Iya.
Aku dengar. Nih, aku baru ingin membalasnya.” ucapku gugup.
“Pesan dari Farhan
yah?” tanya adikku.
“Bukan, nih pesan dari
kak Iwan?”
“Aduh, kenapa aku
kecoplosan begini sih.” gumamku dalam hati.
“Cie, dapat kenalan
baru lagi ya kak?”
“Hehehe... Iya. cuma
teman kakak ini.”
***
Selang beberapa hari,
aku mulai akrab dengan Kak Iwan. Kami saling bercanda bersama. Orangnya nyaman
diajak ngobrol. Dia juga selalu mengingatkanku untuk mengerjakan shalat. Setiap
subuh dia sengaja membangunkanku untuk mendirikan shalat.
Suatu ketika waktu
menunjukkan pukul 20.16 wita...
“Dek, Kamu sudah punya
pacar? Aku takut kalau pacar adik salah paham sama kakak. Karena sejak dari
gunung jalan-jalan, perasaanku selalu ingin berada didekatnya adik. Jujur kalau
adik masuk di rumahnya Lilis, aku selalu memperhatikan dari jendela rumahku.” isi
pesan dari Kak Iwan.
“Hmm... tidak ada kak!
Emangnya kenapa Kak?” balasku singkat.
“Dek, Kamu mau jadi pacarku? Jujur aku sayang adik.”
“Hmm... Kakak ini
gombal yah? Bercanda, kan!”
“Tidak, dek! Aku
serius.”
“Gimana ini. Tuh kan
pasti dia ingin mengungkapkan perasaannya.”
Beberapa menit kemudian...
“Dek,
kenapa tidak dibalas smsnya?”
“Kak,
aku minta maaf. Aku tidak ingin pacaran dulu.”
“Kenapa dek? Kakak serius sayang adik!”
Keesokan harinya, aku
menceritakan hal ini pada sahabatku Mita. Dia tersenyum ketika aku menceritakan
hal ini.
“Idih,
kenapa kamu senyum-senyum seperti itu?”
“Hehehe...
Cuma gembira saja.”
“Hmm..
Gimana nih apa aku harus terima dia?”
“Beri dia waktu beberapa hari dulu. Baru kalau sudah
cocok baru kamu terima. Seingatku kamu pernah bilang kalau Kak Iwan itu mirip
orang arab dan paling senang lihat hidungnya yang mancung itu.”
“Hehehe... Iya. Tapi
aku tidak punya perasaan padanya. Aku hanya kagum sama dia.”
“Tapi menurut aku
terima saja dia jadi pacarnya kamu.”
“Tapi, Farhan gimana?
Aku ingin setia dengan Farhan. Aku sayang dengan dia. Aku tidak ingin
menduakannya.”
“Iya. Aku mengerti itu.
Tapi kamu belum pasti tahu juga kan kalau Farhan setia disana. Apalagi sudah
beberapa hari ini dia tidak hubungin kamu.”
“Iya sih. Mungkin Farhan
lagi sibuk!”
“Hmm... terserah kamu
saja. Pikirkan baik-baik!”
***
Malam harinya, Kak Iwan
sms aku lagi. Masih dengan pembicaraan yang sama.
“Sampai
kapan aku harus tunggu keputusan adik karena keputusan kemarin sangat klasik.
Jujur aku ingin tahu isi hatinya adik terhadap aku seperti apa. Jadi sebelum
ada keputusannya, aku akan tetap menunggu sampai keputusan itu keluar dari mulut
adik meskipun sampai pada aku lewat sms. Setia
itu Indah.” jelas Kak Iwan dan sebuah penanda dari handphonenya.
“Kenapa
harus secepat ini kak, kan kita juga baru kenal?”
“Aku
juga tidak tahu. Sejak aku kenal adik rasanya aku ingin selalu ketemu, aku
tidak tahu hatiku ini selalu ingin tahu keberadaan dan kesehatannya adik,
sebelumnya aku sudah ungkapkan perasaanku, tapi alasan adik klasik.”
“Bukannya
begitu kak, tapi aku memang belum ingin pacaran dulu untuk saat ini. Kenapa
juga harus aku yang kakak suka, kan banyak cewek diluar sana yang lebih cantik
apalagi di kampusnya kakak.”
“Aku
tahu itu dek, tapi setiap manusia juga punya perasaan yang berbeda-beda. Jujur
aku sayang dengan adik, tapi kalau adik tidak punya perasaan itu denganku, aku
juga bisa terima asal saya tahu perasaan adik kepada kakak. Aku sangat mengharapkan
hubungan ini lebih dari kakak adik. Aku harap adik mengerti karena perasaan
kakak tidak akan pernah berubah meski adik tidak punya perasaan sedikitpun
dengan kakak.”
“Beri
aku waktu beberapa hari dulu untuk menjawabnya yah kak. Aku harap kakak bisa
mengerti.”
“Iya,
dek! Kakak akan tunggu sampai kapanpun jawaban dari adik.”
***
Dua
hari kemudian, tepat di pagi hari ketika aku ingin berangkat ke sekolah. Kak
Iwan menagih jawabanku atas pertanyaannya beberapa hari yang lalu. Aku masih
bingung untuk menjawabnya. Karena aku tak pernah mempunyai perasaan yang sama
dengannya. Tapi aku harus menjawabnya dan aku juga harus menghargai perasaannya
padaku. Aku menerimanya. 23 Juni 2013, tanggal, bulan dan tahun jadianku
dengannya.
“Mita,
ada sesuatu yang ingin aku beritahu sama kamu?”
“Apa?
Aku juga punya sesuatu yang ingin aku beritahukan sama kamu.”
“Oh
iya, kamu saja deh dulu.”
“Kamu
saja dulu Shila.”
“Begini,
aku sudah jadian dengan Kak Iwan sepupunya Lilis itu.”
“Iya...iya.
Kapan?”
“Kemarin.”
“Wah,
selamat yah? Cie...!”
“Hehehe... Iya. Hmm...
Oh iya, apa yang ingin kamu beritahukan sama aku. Satu lagi, gimana kabarnya
kamu dengan Iwan? Maksud aku Iwannya kamu.”
“Baik!” jawabnya
singkat sambil cengingiran.
“Hmm... Giliran kamu
lagi nih yang cerita sama aku.”
“Cerita tentang apa?”
“Katanya kamu tadi
ingin beritahukan sesuatu sama aku. Atau...”
“Iya, iya. Aku ngaku
deh Shila! Sebenarnya aku sudah jadian dengan Iwan. Tanggal jadian kita juga
beda satu hari. Aku tanggal 22. Kamu tanggal 23, kan. Hehehe...”
“Belum dilanjutin juga
pembicaraannya. Sudah mengaku sendiri. Hehehe... Bagus kalau begitu.”
“Iya. Pasangan kita
mempunyai nama yang sama yah!”
“Iya. Nama yang sama
untuk orang yang berbeda. Hehehe...”
Sejenak
aku melupakan Farhan saat itu. Kak Iwan selalu memberiku semangat di setiap
hariku. Tak lupa pula, dia selalu mengingatkanku untuk mengerjakan shalat lima
waktu. Aku bangga memilikinya. Namun, aku hanya menganggapnya seperti Kakakku
sendiri. “Maafkan aku Kak Iwan, aku hanya sebatas kagum dengan kakak tidak
lebih dari itu. Di hatiku hanya ada Farhan.” ucapku dengan nada suara pelan
sambil memegang handphoneku dan melihat pesan-pesan yang dikirimkan oleh Kak
Iwan.
***
Seminggu
kemudian, hubunganku dengan Kak Iwan berjalan dengan baik. Kak Iwan mengajakku
untuk ke rumah Lilis karena dua hari ke depan akan diadakan acara pesta panen
atau disebut dengan Mappadenda’ di
kampungnya.
Mita mengajakku untuk pergi. Malam itu Aku dan
Mita berangkat ke rumah Lilis. Namun yang membuat kami kecewa karena kami harus
diawasi oleh Kakaknya Mita. Aku dan Mita harus berhati-hati ketika ketemu
dengan pasangan kami. Ketika tiba di rumah Lilis, aku segera sms kak Iwan agar
aku dan dia bisa jaga jarak. Kurang lebih satu meter aku hanya bisa bertatapan
muka dengan Kak Iwan, saling mengumbar senyuman dan hanya bisa sms-an untuk
memulai obrolan kami.
Kami
pun berangkat ke acara tersebut. Acara tersebut dihadiri oleh Bapak Bupati
Barru dan juga anak beliau. Dalam waktu dua jam kami meninggalkan tempat acara
itu dan kembali ke rumah Lilis yang sedari tadi menghidangkan makanan untuk
kami. Untung saja, Kakaknya Mita dipersilahkan duluan untuk makan. Jadi, aku
dan Mita bisa bertemu dengan pasangan kami. Kami bersenda gurau bersama saat
itu. Orang arab berhidung mancung itu tersenyum bahagia padaku.
Dua
minggu berlalu, Aku dan Kak Iwan semakin akrab dan saling mengenali satu sama
lain. Namun, aku masih merasakan hal yang sama. Perasaan kagum pada seorang
Kakak. Kak Iwan adalah orang yang baik, perhatian dan juga penyayang. Tiga
minggu berlalu, aku mengakhiri hubunganku dengan Kak Iwan. Tepat setelah aku
mengikuti kegiatan LDK GAPPEMBAR. Aku sadar, aku tidak boleh mempermainkan
perasaan orang yang telah tulus menyayangiku. Aku tak bisa bersamanya lagi. Aku
hanya berharap Kak Iwan bisa menemukan seseorang yang memiliki perasaan yang
sama dengannya. Walaupun itu bukan denganku. Karena aku hanya menganggapnya
sebagai Kakakku sendiri. “Maafkan aku Kak Iwan.” ( Wait for the rest of the story ! )