Minggu, 11 Mei 2014

Kisah Cinta Shila Part 10



SEMPAT MEMILIKIMU
Oleh : Nur Aini Fadilla

Suatu hari kala raja siang menguasai bumi, cucuran keringat membasahi dahi tiba-tiba handphoneku berdering menandakan ada pesan masuk. Aku yang sedang asyik bercanda dengan kedua adikku, dengan sigapnya ku raih handphone yang sedari tadi ku cas.
“Ternyata nomor baru!” gumamku dalam hati.
“Hai, selamat siang!” isi pesan tersebut.
“Maaf, ini dengan siapa?”
“Iwan, ini dengan Shila yah?”
“Iya, betul. Maaf, Iwan tinggal dimana yah?”
“Nih Iwan sepupunya Lilis. Yang waktu itu kita naik gunung.”
“Oh, iyya. Ada apa kak?”
“Tidak ada apa-apa. Salam kenal yah!”
“Iya, kak!”
“Lagi ngapain, dek?”
“Lagi duduk-duduk. Kalau kakak?”
“Sama, Lagi duduk juga ini, dek! Adik sudah makan?”
“Alhamdulillah, sudah kak.”
  Tak terasa waktu menunjukkan pukul. 16.00 wita. Kuakhiri short message  dengan Kak Iwan. Setelah shalat ashar, aku pun segera mandi dan melanjutkan tugas sekolahku yang sedari tadi menungguku untuk segera aku kerjakan.
“Ehem... kelihatannya ada yang lagi bahagia nih!” kata adikku Risya.
“Apaan sih? Kan, bagus kalau kita kelihatan bahagia. Daripada murung.”
“Idih, ada suara tapi tidak nampak orangnya.”
“Ish, emangnya aku hantu apa?”
“Emangnya ada apa sih kakak aku yang manis?”
“Hahaha.. Tidak usah kamu tahu. Rahasia. Sana kamu? Huss...huss...”
“Ihh kakak, emangnya aku ayam yang diusir kayak gitu.”
“ Hmm... bukan. Kamu masih adik aku yang paling tersayang.”
“Mulai lagi rayuannya?”
***
Langit mulai gelap. Aku mulai merebahkan tubuhku di atas ranjangku, terdengar suara getar dari handphonepku menandakan ada pesan masuk. Kulihat pesan itu dari Kak Iwan.  Pesan yang sama seperti tadi yang hanya menyapa dan menayakan kegiatan apa yang aku lakukan saat itu. Aku pun membalasnya dengan jawaban singkat. Aku ingin kembali pada ketenangan. Kutarik bantal tidur dan memeluk boneka Shaun The Sheep kesayanganku,  ternyata ada sebuah benda yang ikut terjatuh bersamanya. Kuambil dan kulihat. Ternyata, itu adalah foto Farhan bersamaku di masa kecil dulu. 
Hubungan kami pun sudah berjalan satu tahun. Kupandangi sejenak foto itu. Tak terasa, air mataku sudah menumpuk dipelupuk mata dan telah membuncah keluar. Kenangan itu pun kembali. Kenangan pada saat pesta perayaan ulang tahunku yang ke-9. Namun tangisanku kali ini karena sudah seminggu dia tak memberiku kabar lagi. “Ada apa dengannya?”
Terdengar ketukan pintu kamarku yang memecah lamunan dan tangisanku. Segera kuhapus air mataku dan mencoba memperbaiki keadaan seolah tak terjadi apa-apa. 
“Ada sms tuh? Kenapa kakak tidak memperdulikannya?” kata adikku Risya yang heran melihatku.
“Hmm...O...oo... Iya. Aku dengar. Nih, aku baru ingin membalasnya.” ucapku gugup.
“Pesan dari Farhan yah?” tanya adikku.
“Bukan, nih pesan dari kak Iwan?”
“Aduh, kenapa aku kecoplosan begini sih.” gumamku dalam hati.
“Cie, dapat kenalan baru lagi ya kak?”
“Hehehe... Iya. cuma teman kakak ini.”
***
Selang beberapa hari, aku mulai akrab dengan Kak Iwan. Kami saling bercanda bersama. Orangnya nyaman diajak ngobrol. Dia juga selalu mengingatkanku untuk mengerjakan shalat. Setiap subuh dia sengaja membangunkanku untuk mendirikan shalat.
Suatu ketika waktu menunjukkan pukul 20.16 wita...
“Dek, Kamu sudah punya pacar? Aku takut kalau pacar adik salah paham sama kakak. Karena sejak dari gunung jalan-jalan, perasaanku selalu ingin berada didekatnya adik. Jujur kalau adik masuk di rumahnya Lilis, aku selalu memperhatikan dari jendela rumahku.” isi pesan dari Kak Iwan.
“Hmm... tidak ada kak! Emangnya kenapa Kak?” balasku singkat.
“Dek, Kamu  mau jadi pacarku? Jujur aku sayang adik.”
“Hmm... Kakak ini gombal yah? Bercanda, kan!”
“Tidak, dek! Aku serius.”
“Gimana ini. Tuh kan pasti dia ingin mengungkapkan perasaannya.”
Beberapa menit kemudian...
            “Dek, kenapa tidak dibalas smsnya?”
            “Kak, aku minta maaf. Aku tidak ingin pacaran dulu.”
 “Kenapa dek? Kakak serius sayang adik!”
Keesokan harinya, aku menceritakan hal ini pada sahabatku Mita. Dia tersenyum ketika aku menceritakan hal ini.
            “Idih, kenapa kamu senyum-senyum seperti itu?”
            “Hehehe... Cuma gembira saja.”
            “Hmm.. Gimana nih apa aku harus terima dia?”
            “Beri dia waktu beberapa hari dulu. Baru kalau sudah cocok baru kamu terima. Seingatku kamu pernah bilang kalau Kak Iwan itu mirip orang arab dan paling senang lihat hidungnya yang mancung itu.”
“Hehehe... Iya. Tapi aku tidak punya perasaan padanya. Aku hanya kagum sama dia.”
“Tapi menurut aku terima saja dia jadi pacarnya kamu.”
“Tapi, Farhan gimana? Aku ingin setia dengan Farhan. Aku sayang dengan dia. Aku tidak ingin menduakannya.”
“Iya. Aku mengerti itu. Tapi kamu belum pasti tahu juga kan kalau Farhan setia disana. Apalagi sudah beberapa hari ini dia tidak hubungin kamu.”
“Iya sih. Mungkin Farhan lagi sibuk!”
“Hmm... terserah kamu saja. Pikirkan baik-baik!”
***
Malam harinya, Kak Iwan sms aku lagi. Masih dengan pembicaraan yang sama.
            “Sampai kapan aku harus tunggu keputusan adik karena keputusan kemarin sangat klasik. Jujur aku ingin tahu isi hatinya adik terhadap aku seperti apa. Jadi sebelum ada keputusannya, aku akan tetap menunggu sampai keputusan itu keluar dari mulut adik meskipun sampai pada aku lewat sms. Setia itu Indah.” jelas Kak Iwan dan sebuah penanda dari handphonenya.
            “Kenapa harus secepat ini kak, kan kita juga baru kenal?”
            “Aku juga tidak tahu. Sejak aku kenal adik rasanya aku ingin selalu ketemu, aku tidak tahu hatiku ini selalu ingin tahu keberadaan dan kesehatannya adik, sebelumnya aku sudah ungkapkan perasaanku, tapi alasan adik klasik.”
            “Bukannya begitu kak, tapi aku memang belum ingin pacaran dulu untuk saat ini. Kenapa juga harus aku yang kakak suka, kan banyak cewek diluar sana yang lebih cantik apalagi di kampusnya kakak.”
            “Aku tahu itu dek, tapi setiap manusia juga punya perasaan yang berbeda-beda. Jujur aku sayang dengan adik, tapi kalau adik tidak punya perasaan itu denganku, aku juga bisa terima asal saya tahu perasaan adik kepada kakak. Aku sangat mengharapkan hubungan ini lebih dari kakak adik. Aku harap adik mengerti karena perasaan kakak tidak akan pernah berubah meski adik tidak punya perasaan sedikitpun dengan kakak.”
                “Beri aku waktu beberapa hari dulu untuk menjawabnya yah kak. Aku harap kakak bisa mengerti.”
            “Iya, dek! Kakak akan tunggu sampai kapanpun jawaban dari adik.”
***
            Dua hari kemudian, tepat di pagi hari ketika aku ingin berangkat ke sekolah. Kak Iwan menagih jawabanku atas pertanyaannya beberapa hari yang lalu. Aku masih bingung untuk menjawabnya. Karena aku tak pernah mempunyai perasaan yang sama dengannya. Tapi aku harus menjawabnya dan aku juga harus menghargai perasaannya padaku. Aku menerimanya. 23 Juni 2013, tanggal, bulan dan tahun jadianku dengannya.
            “Mita, ada sesuatu yang ingin aku beritahu sama kamu?”
            “Apa? Aku juga punya sesuatu yang ingin aku beritahukan sama kamu.”
            “Oh iya, kamu saja deh dulu.”
            “Kamu saja dulu Shila.”
            “Begini, aku sudah jadian dengan Kak Iwan sepupunya Lilis itu.”
            “Iya...iya. Kapan?”
            “Kemarin.”
            “Wah, selamat yah? Cie...!”
“Hehehe... Iya. Hmm... Oh iya, apa yang ingin kamu beritahukan sama aku. Satu lagi, gimana kabarnya kamu dengan Iwan? Maksud aku Iwannya kamu.”
“Baik!” jawabnya singkat sambil cengingiran.
“Hmm... Giliran kamu lagi nih yang cerita sama aku.”
“Cerita tentang apa?”
“Katanya kamu tadi ingin beritahukan sesuatu sama aku. Atau...”
“Iya, iya. Aku ngaku deh Shila! Sebenarnya aku sudah jadian dengan Iwan. Tanggal jadian kita juga beda satu hari. Aku tanggal 22. Kamu tanggal 23, kan. Hehehe...”
“Belum dilanjutin juga pembicaraannya. Sudah mengaku sendiri. Hehehe... Bagus kalau begitu.”
“Iya. Pasangan kita mempunyai nama yang sama yah!”
“Iya. Nama yang sama untuk orang yang berbeda. Hehehe...”

Sejenak aku melupakan Farhan saat itu. Kak Iwan selalu memberiku semangat di setiap hariku. Tak lupa pula, dia selalu mengingatkanku untuk mengerjakan shalat lima waktu. Aku bangga memilikinya. Namun, aku hanya menganggapnya seperti Kakakku sendiri. “Maafkan aku Kak Iwan, aku hanya sebatas kagum dengan kakak tidak lebih dari itu. Di hatiku hanya ada Farhan.” ucapku dengan nada suara pelan sambil memegang handphoneku dan melihat pesan-pesan yang dikirimkan oleh Kak Iwan.
***
Seminggu kemudian, hubunganku dengan Kak Iwan berjalan dengan baik. Kak Iwan mengajakku untuk ke rumah Lilis karena dua hari ke depan akan diadakan acara pesta panen atau disebut dengan Mappadenda’ di kampungnya.
 Mita mengajakku untuk pergi. Malam itu Aku dan Mita berangkat ke rumah Lilis. Namun yang membuat kami kecewa karena kami harus diawasi oleh Kakaknya Mita. Aku dan Mita harus berhati-hati ketika ketemu dengan pasangan kami. Ketika tiba di rumah Lilis, aku segera sms kak Iwan agar aku dan dia bisa jaga jarak. Kurang lebih satu meter aku hanya bisa bertatapan muka dengan Kak Iwan, saling mengumbar senyuman dan hanya bisa sms-an untuk memulai obrolan kami.
Kami pun berangkat ke acara tersebut. Acara tersebut dihadiri oleh Bapak Bupati Barru dan juga anak beliau. Dalam waktu dua jam kami meninggalkan tempat acara itu dan kembali ke rumah Lilis yang sedari tadi menghidangkan makanan untuk kami. Untung saja, Kakaknya Mita dipersilahkan duluan untuk makan. Jadi, aku dan Mita bisa bertemu dengan pasangan kami. Kami bersenda gurau bersama saat itu. Orang arab berhidung mancung itu tersenyum bahagia padaku.
Dua minggu berlalu, Aku dan Kak Iwan semakin akrab dan saling mengenali satu sama lain. Namun, aku masih merasakan hal yang sama. Perasaan kagum pada seorang Kakak. Kak Iwan adalah orang yang baik, perhatian dan juga penyayang. Tiga minggu berlalu, aku mengakhiri hubunganku dengan Kak Iwan. Tepat setelah aku mengikuti kegiatan LDK GAPPEMBAR. Aku sadar, aku tidak boleh mempermainkan perasaan orang yang telah tulus menyayangiku. Aku tak bisa bersamanya lagi. Aku hanya berharap Kak Iwan bisa menemukan seseorang yang memiliki perasaan yang sama dengannya. Walaupun itu bukan denganku. Karena aku hanya menganggapnya sebagai Kakakku sendiri. “Maafkan aku Kak Iwan.” ( Wait for the rest of the story ! )

Rabu, 12 Februari 2014

Kisah Cinta Shila Part 9



Kaki Seribu
Oleh : Nur Aini Fadilla

Tok...tok..tok...
 “Assalamualaikum... Shila!”
“Hey, mari masuk!”
“Shila, kita jadi ke gunung loh. Rencananya hari minggu nanti. Jangan lupa bawa baju ganti karena kita juga mau mandi loh.”
“Mandi?”
“Iya, mandi. Disana ada air yang mengalir jernih. Dan tempatnya juga cukup luas.”
“Hmm... iya deh aku akan siapin semuanya.”
Hari minggu pun tiba, aku dan Mita kini telah bersiap-siap untuk berangkat ke rumah Lilis.
“Semuanya sudah siap mba bro! Bagaimana dengan kamu?” ucap sahabatku Mita.
“Sudah donk.  Aku penasaran nih gimana yah rasanya mendaki gunung?” tanyaku.
“Hmm, rasa melon mungkin. Heheheh...”
“Idih, emangnya gunung tuh dimakan yah!”
“Hehehe... bisa jadi! Ayo kita berangkat!”
“Yuk!”
***
Saatnya mendaki gunung.  Semua keluarga Lilis juga sudah siap untuk berangkat.  Kami mengendarai sebuah motor beat biru, yaa itu mtor kesayangan sahabaku Mita. Sesampainya di rumah lilis, kami ngobrol-ngobrol membicarakan kegiatan apa saja yag kn kita lakukan di gunung nanti.
“Celana pendek kamu yang warna merah itu masih ada sama aku, tapi boleh kan aku meminjamnya sekali lagi. Hmm, untuk aku pakai mandi jika kita sudah tiba di gunung nanti. Ngga papa, kan!” ujar Mita kepada Lilis.
“Wah, Iya. Pakai aja. Ngga papa kok!” kata Lilis.
“Waduh, aku lupa bawa celana pendek kayak gitu. Gimana nih? Hmm... Tapi, di lihat nanti aja deh aku ikutan mandi atau tidak. Karena masalahnya aku ngga bawa.”
“Aku punya celana pendek, tapi di atas lutut. Gimana? Kamu mau?” ucap Lilis.
“Hmm.. Terima Kasih. Tapi, Ngga usah yah. Karena aku ngga suka kalau celana pendek kayak gitu. Dan Ngerepotin kamu juga atuh!”
“Hmm.. Ya udah deh!”
Tepat pukul 09.45, kami pun berangkat untuk mendaki gunung.
“Yeeyee, mendaki gunung.” ucapku dengan penuh dengan kesenangan.
“Hmm.. Shila..Shilaa.” ucap Mita.
“Mita, tuh lihat warna hitam yang melilngkar itu! Kacumbari! Cepetan kamu jalannya, aku takut.”
“Aduh, Shila masa ulat kaki seribu ajakamu takut sih.”
“Idih, aku geli tau :p”
“Tuh lihat ada jambu. Buahnya juga banyak! Yuk kita ambil, sambil makan di perjalanan lah!”
“Iyah, biar aku yang manjat.” ucap seorang cowok, yaa itu sepupunya Lilis.
“Oke.”
            Setelah mengumpulkan jambu tersebut, kami melanjutkan perjalanan. Terdapat dua jalur untuk mencapai puncak gunung tersebut. Mama dan Tante Lilis melalui jalur kiri dan aku, lilis, mita, dua cowok dan satu cewek sepupunya Lilis melewati jalur kanan. Kami bercerita-cerita di sepanjang perjalanan. Melewati aliran sungai, pepohonan yang lebat , jalanan yang sempit, semak-semak dan tiba-tiba...
“Aaaaa, kacumbari. Mita, lihat tuh ada kacumbari. Ihh, singkirkan itu Mita. Aku geli.”
“Idih, Shila. Hehehee.. Ngga papa kok. Jangan histeris kayak gitu. Kacumbari  itu ngga akan gigit kamu kok kalau kamu ngga mengganggunya.”
“Tuh, sudah hilang kacumbarinya. Sudah..sudah!” ucap seorang lelaki menyerupai seperti orang arab dan hidungnya mancung.
“Hehehe, iyah. Terima Kasih!” ucapku cengir dengan wajah memerah karena malu.
            Lelaki itu ternyata sedari tadi memperhatikanku, apalagi ketika aku ketakutan melihat Kacumbari. Lelaki itu bernama Irwansyah. Aku memanggilnya Kak Irwan. Dengan waktu setengah jam perjalanan, kami pun tiba di tempat tujuan, Yaitu di puncak gunung. Di pepohonan, kami berisirahat sejenak. Sedangkan keluarga Lilis pun mempersiapkan alat dan bahan untuk bakar-bakar ayam dan Ikan.
“Aduh, jadi begini yah rasanya naik gunung. Hmm.. capek banget. Kaki aku gemeteran nih!” ucapku dengan nada suara yang lelah.
“Iya, beginilah kalau kita naik gunung. Yuk kita makan jambu ini.” ucap Lilis sembari menawarkan jambu yang sudah kita petik di awal tengah perjalanan tadi.
“Hmm, kita Foto-foto dulu yuk! Siap disitu.” kata seorang cowok sepupunya Lilis.
“Iyah, nih kita Foto dulu. Shila, mari kita gifo-gifo.an dulu.”
“Ayo, kita di atas sana aja. Kan pemandangannya indah tuh!”

“Hmm, nih telepon dari siapa yah?” gumamku dalam hati.
Panggilan dari Amrhy J. Begitulah tulisan yang tertera di layar handphoneku. Amri adalah teman SMPku.
“Tunggu dulu yah foto-fotonya, karena  ada yang nelpon nih.”
“Hmm.. iya, iya..” kata Mita yang lagi asyik foto dengan Lilis.
“Halo...”
“Halo, assalamualaikum.” ucap Amri.
“Waalaikum salam.. ada apa amri?”
“Ngga papa. Aku lihat kamu tadi naik motor dengan Mita dan Lilis. Emangnya kamu mau kemana?”
“Oh, iya. Aku tadi juga lihat kamu. Aku lagi di puncak gunung. Kamu kesini gih, kita seru-seruan disini.”
“Hmm.. Iya. Tapi aku ngga ada yang nemenin.”
“Samaki’ angga kesini.  Seru loh, udara disini sejuk! Kami juga bakar-bakar ayam disini.”
“Iya, tapi kelihatannya mau hujan nih. Kamu hati-hati disana yah Shila!”
“Iya nih, mau hujan kayaknya.”
“Lilis, Foto aku dengan Shila disini.”
“Oke, siap disitu. 1..2..3..”
“Shila, lagi teleponan dengan siapa?” tanya Mita.
“Dengan Amri.”
“Ehm... cie..cie”
“Idiih, apaan sih kamu?”
“Oh, iya. Sorry yah amri, aku  ngobrol dengan Mita tadi.”
“Iya. Ngga papa. Udah dulu yah! Kamu  hati-hati disana. Assalamualaikum..”
“Waalaikum salam..”
            Setelah selesai foto-foto, kami dipanggil oleh Mamanya Lilis untuk makan.
“Lilis, Mita, Shila mari makan.”
“Iya, ma. Tunggu yah Ma.”
“Mari makan, kalian disini saja dengan aku.” kata Kak Irwan.
“Iya, dibagi tiga kelompok aja.  Ehm.. alena mi orowane la iwan kurodo. Dikelilingi oleh gadis-gadis. Macai ammai bene nu iwan.” kata Omnya Lilis.
“hahaha, de’ma tuh!”
“Hmm.. enak yah ayam bakarnya! Yummy..” ucap Mita yang saat itu terlihat salah tingkah.
            Saat itu, aku duduk berdekatan dengan Kak Irwan. Mita masih terlihat salah tingkah mencicipi makanannya. Sedangkan aku biasa-biasa saja. Padahal kan biasanya, kalau aku dekat dengan seorang lelaki pasti aku juga ikut salah tingkah. Tapi beda dengan kali ini.
 Ayam bakarnya, kami makan sepiring bertiga, yakni aku, lilis, dan Mita. Padahal ada ayam bakar sepiring lagi tepat berada di depan kak Irwan.
“Dek, engkampa manuk tunu e, aja’ na ta tellu i ku tudu.” ucap kak Irwan.
“Hehehe.. Iya kak.” ucap Mita cengar cengir.
“Hmm, iya Mita. Nih juga enak loh.” kataku sambil mencicipi ayam bakar yang ditawarkan tadi oleh kak Irwan.
“Iya. J” ucap Kak dengan senyuman manis kepadaku.
            Selesai makan, kami pun melanjutkannya dengan Mandi di aliran sungai yang begitu jernih.
“Shila, ayo kita mandi di bawah sana tuh.” ucap Lilis menunjuk aliran sungainya.
“Tapi, aku ngga bawa celana ganti. Gimana nih?”
“Alla Shila, celana itu aja yang kamu gunakan. Aku juga celana ini aja yang aku pakai. Kan mau hujan juga nih. Percuma kan kalau kita ganti baju lagi.”
“Ya udah deh.”
            Kak Irwan mengikuti kemana pun kami pergi. Dan kami melanjukan untuk foto-foto di aliran sungai itu. Namun ketika giliran aku untuk mandi...
Kacumbari..” kata Kak irwan yang menakut-nakutiku dengan sebuah batang kayu kecil.
Aaaa, mana-mana?” ucapku histeris ketakutan.
“Aduh, awas Shila. Ada  Lilis tuh.” teriak Mita.
            Lilis terjatuh di sebuah batu besar karena ulah dari ketakutanku sendiri. Aku menutup mataku tak ingin melihat kacumbari itu yang tak lain hanyalah sebuah ranting  kayu kecil. Semua orang yang berada disekitarku tertawa karena melihat betapa takutnya aku dengan ular kecil berkaki seribu tersebut.
“Shila, kamu lucu banget sih?”
“Ahh, ngga lucu tau. Aku memang takut dengan  kacumbari. Ishh...”
“Udah, udah jangan manyun gitu. Kita ini cuma bercanda. Maaf yah!”
            Tepat pukul 12.02, kami pun bergegas untuk pulang. Cuacanya panas namun rerumputan masih basah karena hujan tadi.
“Dek, ini jaket buat kamu supaya tidak panas.” kata Kak Irwan.
“Hmm,, Iya. Makasih kak!” ucapku dengan nada suara kecil sambil tersenyum.
            Di tengah perjalanan...
“Itu...Itu... warna hitam melingkar. Aaaaaa... kacumbari.” teriakku menunduk dan menunjuk kacumbari  tersebut. Kemudian lari.
“Hmm, kacumbar i  lagi. Ini nih...” ucap anak kecil yang ingin melemparkan kacumbari tersebut kepadaku.
“Aaaaa... tidak. Jangan.. Jangannn..”
“Sudah.. sudah. Aja’ mupakkuro i anak na tauwe, malasa ammai oo. Tidak ada mi, dek! Jangan maki’ takut.” ujar Kak Irwan menenangkan ku.
“Addah, takut ki itu kak. Takut sekali ka sama itu kacumbari.”
Iya, dek! Tidak ada mi. Sudah saya singkirkan.”
“Hehehehe.. Shila.. shila..”
            Kurang lebih setengah jam perjalanan. Fajar mulai menghampiri petang, kami pun keluar dari hutan mengerikan penuh dengan kacumbari. Pengalaman yang menyenangkan. Benar-benar luar biasa perjalanannya. Penuh tantangan dan suaraku serak karena tadi teriak-teriak ketakutan setiap melihat kacumbari  atau si kaki seribu di tengah hutan tersebut. Kaki ku juga pegal-pegal naik turun gunung tersebut. Tak ada oleh-oleh yang ku bawa pulang, hanya sebingkis lelah penuh tawa kebahagiaan.  ( Wait for the rest of the story ! )

Jumat, 10 Januari 2014

Kisah Cinta Shila Part 8



Aku dan Kamu Kembali di Bulan Juli
Oleh : Nur Aini Fadilla

Sore hari yang cerah dengan tiupan angin sepoi-sepoi. Hamparan sawah yang luas dibelakang rumah dan rumah kayu kosong tepat di samping rumahku. Aku duduk sendirian di teras rumah sambil mendengar iringan musik dari salah satu lagu band favoritku “Adista”.
“Wah, suasana sore hari ini cerah banget. Rumput hijau yang menari-nari disekeliling pohon pisang dan pohon kelapa menambah indahnya panorama sore ini.”
“Kakak Shila kok senyum-senyum sendiri? Hatinya sedang berbunga-bunga yah! Hayo ngaku deh!” ujar adikku Risya mengejekku.
“Eh, ngapain elu kesini. Ganggu aja.”
“Ahh, kakak Shila. Aku ngga ingin ganggu kakak. Aku cuma mau duduk aja disini.”
“Iya nih kak Shila. Betu..betul..betul.” ucap adik sepupuku Arjun.
“Liat kakak Shila yang senyum-senyum tuh!” ucap Risya berbisik kepada Arjun.
“Hey, apa yang kalian bisikkan itu?”
“Ihh, kakak galak amat sih. Santai aja donk kak.”
“Hehehe.. he’e. Betul..betul!”
“Awas nah! Nih juga adik Arjunku kayak Ipin aja.”
“Biarin :p. Ayo kak kita masuk saja. Kakak Shila lagi asyik tuh, mikirin kakak Farhan.”
“Idih, sebut siapa tuh  tadi? Aku engga salah dengar apa.”
“Yah, tidaklah Kakakku yang cantik pacarnya Farhan. Hehehe, peace!”
“Risya.. kenapa sih nama dia kamu sebut terus. Aku juga ngga pacaran lagi dengan dia. Sudah beberapa hari ini dia tidak ada kabar.” ucapku dengan wajah cemberut.
“Cieellah... Kakak masih sayang kan dengan Farhan. Ayo ngaku!”
“Risya..risya..” panggil kakekku.
“Ahh, sudahlah! Tuh dipanggil sama Bapak."

Hatiku yang tadinya gembira berubah menjadi sedih. Aku teringat dengan Farhan lagi. “Hmm.. kenapa aku ingat dia lagi sih. Dia pasti disana sudah punya pengganti aku, bahkan mungkin lebih cantik. Udah beberapa hari ini dia engga ngasih kabar. Sms atau telepon pun tidak lagi. Ahh lupain aja deh! Mendingan fokus dulu belajar, kan beberapa minggu kedepan sudah  ujian penaikan kelas. Peringkat aku juga harus tetap dipertahanin.”

***

Beberapa minggu kemudian, aku masih saja teringat dengan Farhan. Walaupun beberapa bulan yang lalu dia sudah buat akau kecewa.
“Assalamualaikum...Shila..Shila..”
“Waalaikum salam. Ehh, Mita. Tumben malam-malam gini kamu datang ke rumah! Mari masuk!”
“Hmm, iya. Shila aku ada tugas Bahasa Indonesia. Bantu aku ya! Aku disuruh unth menyimpulkan cerita ini. Aku ngga ngerti jalan ceritanya.” ucap Mita sambil menunjukkan tugasnya tersebut.
“Hmm, sini aku baca dulu.”

            Malam itu, Mita datang ke rumah dan aku pun curhat dengannya. Beberapa menit kemudian...
“Nih sudah selesai tugasnya. Kamu baca ulang lagi ya cerita ini. Kamu bakalan ngerti kok jalan ceritanya. Kamu bisa tambahin juga menurut kata-kata kamu sendiri berdasarkan isi cerita ini.”
“Iya. Terima kasih ya Shila.”
“Iya. Sama-sama. Mita kamu nanti aja yah pulangnya, aku ingin curhat sama kamu dan ini tentang Farhan.”
“Farhan? Kenapa? Hubungan kalian baik-baik aja, kan!”
“Kamu masih ingat kan beberapa minggu yang lalu dia telepon aku. Hubungan kami masih baik-baik saja, kan. Walaupun semenjak dia buat aku kecewa dan harus berakhir tanpa ada kata PUTUS dari kami berdua."
“Iya. Kamu jangan sedih gitu. Tapi disini masalahnya apa?”
“Akhir-akhir ini Farhan engga ada kabar. Apa dia sudah lupakan aku?”
“Shila, mungkin dia punya alasan dia seperi itu. Jangan sedih lagi ya, kan ada aku sahabat kamu. Sudahlah! Oh iya, aku, Lilis, dan Rahmi ingin buat acara loh. Kamu mau ikut?”
“Hm,  acara apa?”
“Kami ingin mendaki gunung yang ada di Maddo itu loh. Sekalian juga kita bakar-bakar ayam dengan keluarganya Lilis. Ikut saja ya. Hilangin kegalauanmu dengan ikut acara ini. Oke!”

***

12 Juni 2013...

“Assalamualaikum..” sebuah pesan pendek dari Farhan. Aku balas sms dari dia dan kami ngobrol-ngobrol malam itu. Menanyakan kabar dan juga aktivitas saat itu. 
"Lagi ngapain?" tanyaku.
"Gi nonton aja. Kita?"
"Baring-baring aja nih. Kita ma siapa disitu?” tanyaku melanjutkan percakapan saat itu. 
“Sendiri.” jawabnya. 
“Aooh, awas kalau lagi sendiri seperti itu. Nanti di dekat kamu ada sosok yang pakai baju putih loh dan rambutnya panjang!” ucapku menakut-nakutinya. 
“Ngga papa itu memang teman aku kalau aku sendiri, itu disamping kamu juga ada.” ucapnya balas menakut-nakutiku.
"hmm.. ngga takut tuh :p"

Pukul 21.03, dia mengirim sebuah pesan pendek yang harus diisi olehku. Dimana pesan itu tentang dirinya yang ingin meminta pendapat tentangku. Aku tak mengisinya, malah aku kirim balik pesan itu. Dia mengisinya dan dibagian pesan untukku, dia berkata, “Jaga Dirimu.” Pesan itu yang membuatku penasaran. Ada apakah dibalik kalimat itu.

Kurang lebih sebulan setelah itu, tepatnya 11 Juli 2013 dia sms aku lagi dan seperti biasanya. Aku mencoba mengingatkannya dengan tayangan drama komedi “OPERA VAN JAVA” drama komedi yang dia senangi. Butuh waktu 10 menit, lalu dia membalasnya. Dia berkata, 

"Kamu masih ingat yah dengan tontonan yang aku suka?"
"Iya donk, kan itu yang seringkali kamu tonton dan kamu pernah bilang bahwa kamu paling suka dengan tayangan itu."

Beberapa menit kemudian...
 
Jujur sebenarnya aku masih sayang sama kamu, tapi aku ngga sanggup lihat kamu menderita karenaku. Karena biasanya cewek tuh ngga bisa kalau pacaran jarak jauh.” Lima menit kemudian, aku balas pesannya itu dan mengatakan bahwa  

"Jujur, aku juga masih sayang sama kamu. hmm.. Dan Jarak Yang Jauh bukan dijadikan alasan dalam suatu hubungan jikalau sepasang kekasih itu memang serius menjalani hubungannya,"    
***
Sejak saat itu, kami kembali seperti dulu lagi. Kata sayang darinya kulihat dan kudengarkan lagi. Juli menjadikan kisahku dengannya berlanjut lagi. ( Wait for the rest of the story ! )