Minggu, 11 Mei 2014

Kisah Cinta Shila Part 10



SEMPAT MEMILIKIMU
Oleh : Nur Aini Fadilla

Suatu hari kala raja siang menguasai bumi, cucuran keringat membasahi dahi tiba-tiba handphoneku berdering menandakan ada pesan masuk. Aku yang sedang asyik bercanda dengan kedua adikku, dengan sigapnya ku raih handphone yang sedari tadi ku cas.
“Ternyata nomor baru!” gumamku dalam hati.
“Hai, selamat siang!” isi pesan tersebut.
“Maaf, ini dengan siapa?”
“Iwan, ini dengan Shila yah?”
“Iya, betul. Maaf, Iwan tinggal dimana yah?”
“Nih Iwan sepupunya Lilis. Yang waktu itu kita naik gunung.”
“Oh, iyya. Ada apa kak?”
“Tidak ada apa-apa. Salam kenal yah!”
“Iya, kak!”
“Lagi ngapain, dek?”
“Lagi duduk-duduk. Kalau kakak?”
“Sama, Lagi duduk juga ini, dek! Adik sudah makan?”
“Alhamdulillah, sudah kak.”
  Tak terasa waktu menunjukkan pukul. 16.00 wita. Kuakhiri short message  dengan Kak Iwan. Setelah shalat ashar, aku pun segera mandi dan melanjutkan tugas sekolahku yang sedari tadi menungguku untuk segera aku kerjakan.
“Ehem... kelihatannya ada yang lagi bahagia nih!” kata adikku Risya.
“Apaan sih? Kan, bagus kalau kita kelihatan bahagia. Daripada murung.”
“Idih, ada suara tapi tidak nampak orangnya.”
“Ish, emangnya aku hantu apa?”
“Emangnya ada apa sih kakak aku yang manis?”
“Hahaha.. Tidak usah kamu tahu. Rahasia. Sana kamu? Huss...huss...”
“Ihh kakak, emangnya aku ayam yang diusir kayak gitu.”
“ Hmm... bukan. Kamu masih adik aku yang paling tersayang.”
“Mulai lagi rayuannya?”
***
Langit mulai gelap. Aku mulai merebahkan tubuhku di atas ranjangku, terdengar suara getar dari handphonepku menandakan ada pesan masuk. Kulihat pesan itu dari Kak Iwan.  Pesan yang sama seperti tadi yang hanya menyapa dan menayakan kegiatan apa yang aku lakukan saat itu. Aku pun membalasnya dengan jawaban singkat. Aku ingin kembali pada ketenangan. Kutarik bantal tidur dan memeluk boneka Shaun The Sheep kesayanganku,  ternyata ada sebuah benda yang ikut terjatuh bersamanya. Kuambil dan kulihat. Ternyata, itu adalah foto Farhan bersamaku di masa kecil dulu. 
Hubungan kami pun sudah berjalan satu tahun. Kupandangi sejenak foto itu. Tak terasa, air mataku sudah menumpuk dipelupuk mata dan telah membuncah keluar. Kenangan itu pun kembali. Kenangan pada saat pesta perayaan ulang tahunku yang ke-9. Namun tangisanku kali ini karena sudah seminggu dia tak memberiku kabar lagi. “Ada apa dengannya?”
Terdengar ketukan pintu kamarku yang memecah lamunan dan tangisanku. Segera kuhapus air mataku dan mencoba memperbaiki keadaan seolah tak terjadi apa-apa. 
“Ada sms tuh? Kenapa kakak tidak memperdulikannya?” kata adikku Risya yang heran melihatku.
“Hmm...O...oo... Iya. Aku dengar. Nih, aku baru ingin membalasnya.” ucapku gugup.
“Pesan dari Farhan yah?” tanya adikku.
“Bukan, nih pesan dari kak Iwan?”
“Aduh, kenapa aku kecoplosan begini sih.” gumamku dalam hati.
“Cie, dapat kenalan baru lagi ya kak?”
“Hehehe... Iya. cuma teman kakak ini.”
***
Selang beberapa hari, aku mulai akrab dengan Kak Iwan. Kami saling bercanda bersama. Orangnya nyaman diajak ngobrol. Dia juga selalu mengingatkanku untuk mengerjakan shalat. Setiap subuh dia sengaja membangunkanku untuk mendirikan shalat.
Suatu ketika waktu menunjukkan pukul 20.16 wita...
“Dek, Kamu sudah punya pacar? Aku takut kalau pacar adik salah paham sama kakak. Karena sejak dari gunung jalan-jalan, perasaanku selalu ingin berada didekatnya adik. Jujur kalau adik masuk di rumahnya Lilis, aku selalu memperhatikan dari jendela rumahku.” isi pesan dari Kak Iwan.
“Hmm... tidak ada kak! Emangnya kenapa Kak?” balasku singkat.
“Dek, Kamu  mau jadi pacarku? Jujur aku sayang adik.”
“Hmm... Kakak ini gombal yah? Bercanda, kan!”
“Tidak, dek! Aku serius.”
“Gimana ini. Tuh kan pasti dia ingin mengungkapkan perasaannya.”
Beberapa menit kemudian...
            “Dek, kenapa tidak dibalas smsnya?”
            “Kak, aku minta maaf. Aku tidak ingin pacaran dulu.”
 “Kenapa dek? Kakak serius sayang adik!”
Keesokan harinya, aku menceritakan hal ini pada sahabatku Mita. Dia tersenyum ketika aku menceritakan hal ini.
            “Idih, kenapa kamu senyum-senyum seperti itu?”
            “Hehehe... Cuma gembira saja.”
            “Hmm.. Gimana nih apa aku harus terima dia?”
            “Beri dia waktu beberapa hari dulu. Baru kalau sudah cocok baru kamu terima. Seingatku kamu pernah bilang kalau Kak Iwan itu mirip orang arab dan paling senang lihat hidungnya yang mancung itu.”
“Hehehe... Iya. Tapi aku tidak punya perasaan padanya. Aku hanya kagum sama dia.”
“Tapi menurut aku terima saja dia jadi pacarnya kamu.”
“Tapi, Farhan gimana? Aku ingin setia dengan Farhan. Aku sayang dengan dia. Aku tidak ingin menduakannya.”
“Iya. Aku mengerti itu. Tapi kamu belum pasti tahu juga kan kalau Farhan setia disana. Apalagi sudah beberapa hari ini dia tidak hubungin kamu.”
“Iya sih. Mungkin Farhan lagi sibuk!”
“Hmm... terserah kamu saja. Pikirkan baik-baik!”
***
Malam harinya, Kak Iwan sms aku lagi. Masih dengan pembicaraan yang sama.
            “Sampai kapan aku harus tunggu keputusan adik karena keputusan kemarin sangat klasik. Jujur aku ingin tahu isi hatinya adik terhadap aku seperti apa. Jadi sebelum ada keputusannya, aku akan tetap menunggu sampai keputusan itu keluar dari mulut adik meskipun sampai pada aku lewat sms. Setia itu Indah.” jelas Kak Iwan dan sebuah penanda dari handphonenya.
            “Kenapa harus secepat ini kak, kan kita juga baru kenal?”
            “Aku juga tidak tahu. Sejak aku kenal adik rasanya aku ingin selalu ketemu, aku tidak tahu hatiku ini selalu ingin tahu keberadaan dan kesehatannya adik, sebelumnya aku sudah ungkapkan perasaanku, tapi alasan adik klasik.”
            “Bukannya begitu kak, tapi aku memang belum ingin pacaran dulu untuk saat ini. Kenapa juga harus aku yang kakak suka, kan banyak cewek diluar sana yang lebih cantik apalagi di kampusnya kakak.”
            “Aku tahu itu dek, tapi setiap manusia juga punya perasaan yang berbeda-beda. Jujur aku sayang dengan adik, tapi kalau adik tidak punya perasaan itu denganku, aku juga bisa terima asal saya tahu perasaan adik kepada kakak. Aku sangat mengharapkan hubungan ini lebih dari kakak adik. Aku harap adik mengerti karena perasaan kakak tidak akan pernah berubah meski adik tidak punya perasaan sedikitpun dengan kakak.”
                “Beri aku waktu beberapa hari dulu untuk menjawabnya yah kak. Aku harap kakak bisa mengerti.”
            “Iya, dek! Kakak akan tunggu sampai kapanpun jawaban dari adik.”
***
            Dua hari kemudian, tepat di pagi hari ketika aku ingin berangkat ke sekolah. Kak Iwan menagih jawabanku atas pertanyaannya beberapa hari yang lalu. Aku masih bingung untuk menjawabnya. Karena aku tak pernah mempunyai perasaan yang sama dengannya. Tapi aku harus menjawabnya dan aku juga harus menghargai perasaannya padaku. Aku menerimanya. 23 Juni 2013, tanggal, bulan dan tahun jadianku dengannya.
            “Mita, ada sesuatu yang ingin aku beritahu sama kamu?”
            “Apa? Aku juga punya sesuatu yang ingin aku beritahukan sama kamu.”
            “Oh iya, kamu saja deh dulu.”
            “Kamu saja dulu Shila.”
            “Begini, aku sudah jadian dengan Kak Iwan sepupunya Lilis itu.”
            “Iya...iya. Kapan?”
            “Kemarin.”
            “Wah, selamat yah? Cie...!”
“Hehehe... Iya. Hmm... Oh iya, apa yang ingin kamu beritahukan sama aku. Satu lagi, gimana kabarnya kamu dengan Iwan? Maksud aku Iwannya kamu.”
“Baik!” jawabnya singkat sambil cengingiran.
“Hmm... Giliran kamu lagi nih yang cerita sama aku.”
“Cerita tentang apa?”
“Katanya kamu tadi ingin beritahukan sesuatu sama aku. Atau...”
“Iya, iya. Aku ngaku deh Shila! Sebenarnya aku sudah jadian dengan Iwan. Tanggal jadian kita juga beda satu hari. Aku tanggal 22. Kamu tanggal 23, kan. Hehehe...”
“Belum dilanjutin juga pembicaraannya. Sudah mengaku sendiri. Hehehe... Bagus kalau begitu.”
“Iya. Pasangan kita mempunyai nama yang sama yah!”
“Iya. Nama yang sama untuk orang yang berbeda. Hehehe...”

Sejenak aku melupakan Farhan saat itu. Kak Iwan selalu memberiku semangat di setiap hariku. Tak lupa pula, dia selalu mengingatkanku untuk mengerjakan shalat lima waktu. Aku bangga memilikinya. Namun, aku hanya menganggapnya seperti Kakakku sendiri. “Maafkan aku Kak Iwan, aku hanya sebatas kagum dengan kakak tidak lebih dari itu. Di hatiku hanya ada Farhan.” ucapku dengan nada suara pelan sambil memegang handphoneku dan melihat pesan-pesan yang dikirimkan oleh Kak Iwan.
***
Seminggu kemudian, hubunganku dengan Kak Iwan berjalan dengan baik. Kak Iwan mengajakku untuk ke rumah Lilis karena dua hari ke depan akan diadakan acara pesta panen atau disebut dengan Mappadenda’ di kampungnya.
 Mita mengajakku untuk pergi. Malam itu Aku dan Mita berangkat ke rumah Lilis. Namun yang membuat kami kecewa karena kami harus diawasi oleh Kakaknya Mita. Aku dan Mita harus berhati-hati ketika ketemu dengan pasangan kami. Ketika tiba di rumah Lilis, aku segera sms kak Iwan agar aku dan dia bisa jaga jarak. Kurang lebih satu meter aku hanya bisa bertatapan muka dengan Kak Iwan, saling mengumbar senyuman dan hanya bisa sms-an untuk memulai obrolan kami.
Kami pun berangkat ke acara tersebut. Acara tersebut dihadiri oleh Bapak Bupati Barru dan juga anak beliau. Dalam waktu dua jam kami meninggalkan tempat acara itu dan kembali ke rumah Lilis yang sedari tadi menghidangkan makanan untuk kami. Untung saja, Kakaknya Mita dipersilahkan duluan untuk makan. Jadi, aku dan Mita bisa bertemu dengan pasangan kami. Kami bersenda gurau bersama saat itu. Orang arab berhidung mancung itu tersenyum bahagia padaku.
Dua minggu berlalu, Aku dan Kak Iwan semakin akrab dan saling mengenali satu sama lain. Namun, aku masih merasakan hal yang sama. Perasaan kagum pada seorang Kakak. Kak Iwan adalah orang yang baik, perhatian dan juga penyayang. Tiga minggu berlalu, aku mengakhiri hubunganku dengan Kak Iwan. Tepat setelah aku mengikuti kegiatan LDK GAPPEMBAR. Aku sadar, aku tidak boleh mempermainkan perasaan orang yang telah tulus menyayangiku. Aku tak bisa bersamanya lagi. Aku hanya berharap Kak Iwan bisa menemukan seseorang yang memiliki perasaan yang sama dengannya. Walaupun itu bukan denganku. Karena aku hanya menganggapnya sebagai Kakakku sendiri. “Maafkan aku Kak Iwan.” ( Wait for the rest of the story ! )

Tidak ada komentar:

Posting Komentar