Hanya Karena Salah Paham
Oleh : Nur
Aini Fadilla
Rusni, nah
itu nama lengkapnya. Unni panggilan
akrab untuknya. Dia adalah sahabatku. Dia orangnya baik, pintar dan asyik
diajak curhat.
Tiba di
sekolah.
“Hai, Shila. Selamat
pagi!” sapa Imah dengan karakternya yang polos.
“Hai juga, Imahku.
Tunggu yah, aku simpan tas aku dulu. Tetap disitu.” jawabku dengan karakterku
sedikit lebay seperti biasanya yang hanya ingin membuat Sahabatku tersenyum.
“Hmm, Shila. Emangnya aku mau kemana. Shilla nih...”
“Hey..” sapa Nandar.
“Hey, kamu dari mana? Cie.. Ehem..ehem.”
“Engga kok, cuma jalan-jalan aja. Cie, kenapa nih?”
“Hehehe, ngga kok. Engga papa. Cuma tes-tes suara doang.”
“hmm, kirain kamu kenapa
atau jangan-jangan kamu keselek...” ucap Nandar tak melanjutkan.
“Keselek apa coba? Ihh,
kamu nih. Awas nah :p”
“Ehh, jangan dipukul atuh. Kan, sakit!”
“Abisnya kamu sih. Hmm
:p”
Yunandar Setiawan, nah itu nama lengkapnya. Nandar panggilan akrab untuknya. Dikatakan dewasa, ahh,
ngga juga. Dia kadang kekanak-kanakan. Disebut penyabar, tidak selalu seperti
itu keadaannya. Namun dia orangnya lucu. Nandar adalah teman sekelasku di tenth
six SMA NEGERI 1 BARRU. Kami juga sangat akrab.
***
Bel masuk
pun berbunyi. Guru mata pelajaran pun sudah masuk di kelas. Seperti biasanya,
aku sebangku dengan Hapdaliah yang juga merupakan sahabatku. Orangnya polos dan
pendiam. Tapi semenjak duduk denganku, dia sudah mulai terbuka dan berbagi
cerita denganku.
Dengan
susunan bangku menyerupai huruf U, aku duduk sejajar dengan meja guru tepat di
tengah diantara kedua sahabatku Hapdaliah dan Icha. Aku dan Hapdaliah berbincang-bincang,
padahal kami diberi tugas matematika oleh bapak guru. Kami menghiraukan tugas
itu begitu saja.
“Oh iya, Shila. Kamu akrab
juga yah dengan Nandar.” ucap Hapdaliah
berbisik.
“Hehehe.. Iyah. Dia orangnya asyik diajak ngobrol.”
“Tapi, hati-hati nanti bisa jadi sesuatu loh.”
“Ahh, sesuatu apa sih?”
“Yah, sesuatu... Yang special gitu.”
“Ahh, ngada-ngada aja kamu. Ngga lah, dia kan udah punya pacar.
Pacarnyaaa... Ehh. Ngga kok lupain aja.”
“Pacarnya siapa?”
“Hmm.. aku ngga taulah. Sudahlah!”
“Hupps, hampir aja aku kecoplosan.” ujarku berbisik membelakangi Hapdaliah.
“Kamu kerjakan soal matematika ini
di papan!”
“Hmm, aku ya pak?”
“Iyah, kamu.”
“Aduh, gimana nih? Aku kerjanya nomor berapa?” tanyaku kepada Icha.
“Yang ini nih!” ucap Icha sambil menunjukkan soal matematika tersebut.
Aku gemetaran karena
spontan aku yang ditunjuk oleh bapak guru untuk mengerjakan soal matematika
tersebut. Sejenak aku melihat soal tersebut. “Oh, iya nih kan pengerjaannya
sama dengan yang dijelaskan oleh bapak guru tadi. Hmm.. Alhamdulillah!”. Akhirnya selesai dan
jawabannya benar. Aku pun dipersilahkan duduk kembali.
“Hey, Shila. Kamu kenapa tadi?
Kecoplosan kenapa?” ucap Icha .
“Hutss, tadi tuh hampir aja aku kecoplosan kepada Hapdaliah mengenai Unni
dan Nandar. Kamu tahu juga kan kalau
mereka pacaran. Cuma aku dan kamu yang rusni beritahu.”
“Kalian berdua, lagi bicara apaan? Kasi tau dong.” tanya Hapdaliah.
“Mengenai tugas matematika ini. Hmm.. Yuk, lanjutin aja nih tugas. Tuh udah
mau jam istirahat.”
***
Hari berganti hari dan teman-teman pun
tahu kalau Nandar dan Rusni pacaran. Mereka berdua terlihat serasi. Seketika
itu pula mereka jadi pusat perhatian di tenth six.
“Accie..cie.. Ehem..ehem.. Tabe’! Numpang lewat ya Unni, Ndar!” ujarku
kepada Rusni dan Nandar yang saat itu lagi berduaan. “Hehehe.. Lewat maki’!” ucap Rusni dengan penuh
kebahagiaan bersama Nandar. Melihat sahabatku yang begitu bahagia membuatku
ikut bahagia. Tapi, disis lain, di hati kecilku dan pikiranku mengingat Farhan. My Boyfriend LDR. Walaupun saat itu takdir belum mempertemukanku dengan Farhan
karena jarak yang jauh. Aku yakin semua itu akan Indah Pada Waktunya.
Kebahagiaan itu akan terasa indah dengan pertemuanku dengan Farhan suatu saat
nanti.
Dua bulan setelah itu,
Unni dan Nandar mengakhiri hubungannya.
Mereka tak lagi bersama. Padahal aku sangat senang melihat mereka tertawa
bersama. Mereka adalah pasangan yang paling serasi. Aku mencoba menanyakan pada
Nandar, tapi dia hanya berkata, “ngga papa kok.” Tapi, aku tetap saja buat
mereka supaya bisa bersatu lagi.
Pesan Facebook, aku ngobrol dengan Nandar.
“Hy..” sapa Nandar.
“Hy juga.” jawabku.
“Kamu udah ngerjain tugas
bahasa jerman/blum?”
“Aku baru kerja ini. Kalau
kamu gimana, Ndar?”
“Belum juga.”
“Hmm.. Oh iya, ada sesuatu nih yang
aku ingin tanyakan sama kamu!”
“Tanya tentang apa?”
“Tentang kamu dengan Rusni.
Kamu masih sayang kan dengan Rusni?”
“Ngga tahu.”
“Kok ngga tahu sih. Jujur
saja, bro. Kamu masih sayang, kan?”
“Iya."
"Kalau gitu kalian masih punya perasaan yang sama. Tapi kenapa hubungan kalian harus berakhir?”
"Kalau gitu kalian masih punya perasaan yang sama. Tapi kenapa hubungan kalian harus berakhir?”
“Ngga ada papa kok.”
***
Beberapa bulan kemudian, gosip aneh
terdengar oleh teman-temanku bahwa Nandar pernah pacaran atau bahkan pacaran dengan
Ainun. Aku tak percaya dengan hal itu. Karena Nandar yang aku kenal tidak
mungkin pacaran dengan teman satu kelas kami juga. Ada Rusni di kelas ini dan
ada Ainun juga. Tidak mungkin Nandar ingin menyakiti orang yang dia sayangi. Rusni
yang saat itu juga mendengarnya, datang menghampiriku. “Shila, apakah gosip itu
benar?”. “Hm, aku juga ngga tahu. Ngga mungkin Nandar seperti itu. Tapi untuk
memastikan itu benar atau tidak, aku
akan bicara empat mata dengan Nandar. Jangan sedih, Oke!”.
Keesokan harinya, Nandar menghampiriku dan
duduk bersebelahan denganku. Kami berdua ngobrol dan ketika aku menanyakan
gosip itu, dia tidak menjawabnya dan hanya tersenyum. Ainun yang melihatku
dengan Nandar kelihatannya berbicara sesuatu lewat matanya. Dia kelihatannya kesal
dan benci kalau aku berduaan dengan Nandar. Beberapa hari kemudian, berita
miris terdengar di telingaku. Ainun mengira aku dan Nandar pacaran karena saat itu kami memang sangat
akrab. Tapi itu semua aku lakukan demi bersatunya cinta kedua sahabatku itu.
Namun kebencian Ainun itu makin
menjadi-jadi. Pada saat kami presentasi Fisika, Ainun yang kebetulan adalah
teman satu kelompokku sedang tidak hadir karena izin untuk mengikuti kegiatan
pramuka. Aku pun ditunjuk oleh teman kelompokku untuk mengarahkan diskusi di
kelompok kami. Setelah giliranku untuk mengajukan pertanyaan selesai dan aku
pun melemparkan kembali kepada teman satu kelompokku. “Teman, kalian buat
pertanyaan gih untuk diajukan nantinya.”. “Iya.” ucap Icha.
Kini giliran kelompokku untuk mengajukan
pertanyaan. “Teman, pertanyaannya mana? Saatnya kelompok kita yang bertanya.”.
Pertanyaan yang dibuat itu, hilang seketika.
“Aduh, gimana nih? Oh iya, kalau aku ingin bertanya mengenai hal ini. Siapa
di antara kalian yang ingin mengajukannya?” ucapku sambil menunjuk sepotong
kertas berisi pertanyaan. “Kamu saja Shila.” ucap Sita. “Kalian lagi yang
bertanya. Hapdaliah, Icha nih siapa yang ingin mengajukannya?”. “Kamu saja, Shila." ucap Icha dan Hapdaliah.
Ketika aku ingin
mengajukan pertanyaan itu, tiba-tiba Ainun datang dan berkata, “Eddedeh.. Jangan
kamu terus yang bertanya. Berikan ke yang lain tuh! Jangan sok deh!” Ainun begitu
saja menghujamkan kata-kata itu dengan lirikan mata kebencian. Membuatku terkesiap, mataku
panas menahan tetesan-tetesan keperihan namun akhirnya menetes juga dipipiku. Teman dan sahabatku berusaha menenangkanku, “Shila,
yang sabar ya. Dia memang seperti itu. Hentikan tangisanmu. Bapak guru nanti
lihat tuh.” ucap Sita. "Iya, Shila. Udah yah, jangan nangis!" ucap Hasnah. Namun, lontaran kata maaf dari Ainun atas kesalahannaya itu tak kunjung
dia utarakan kepadaku sampai kami bisa saling bicara lagi.
( Wait for the rest of the story ! )
( Wait for the rest of the story ! )
Tidak ada komentar:
Posting Komentar